Sabtu, 17 September 2011

Pisahkan Masalah dan Orang yang Terlibat dalam Masalah

Berinteraksi dengan orang, adalah kerja sulit dan rumit. Manusia bukan komputer. Manusia makhluk yang mempunyai perasaan, terkadang bahkan sangat sensitif, sehingga semakin mempersulit interaksi kita dengan mereka. Terkadang, kita mencampuri perasaan dengan kenyataan yang menjadi sumber masalah. Lalu kita mensejajarkan orang dengan permasalahannya. Karenanya, sebelum kita mencari solusi yang paling utama, kita harus bisa melepaskan antara permasalahan seseorang dari inti masalah serta upaya untuk mengatasinya. Pihak yang melakukan perundingan, dialog, biasanya terburu menganggap diri mereka berhadapan dengan pihak musuh secara pribadi sehingga sulit bagi mereka untuk memutus kaitan masalah pribadi dengan masalah yang ingin dipecahkan. Bila terjadi situasi seperti ini, apapapun yang keluar dari pihak yang berdiskusi,dan berunding tentang suatu masalah, sesuai dengan apa yang terbersit dalam pikiran tentang sosok pihak yang ada di hadapannya. Efeknya, masing-masing pihak akan mengang- gap dan menyatakan sikap yang bertentangan dan sama sekali tidak menganggap kepentingan pihak lainnya. Padahal dalam situasi berunding, masing-masing pihak harus menganggap mereka satu sama lain bersama-sama, saling melengkapi, bukan saling menyingkirkan. Ini penting dilakukan supaya ada komunikasi yang seimbang sehingga menghasilkan kesepakatan yang adil, bermanfaat dan disepakati oleh kedua belah pihak. Jika Anda berinteraksi dengan orang lain, berlakulah dengan sopan, lemah lembut dan adab yang baik. Tapi bersikaplah terhadap permasalahan yang sedang didiskusikan dan dirundingkan itu dengan tegas, kuat, tanpa mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan pihak lain atau merendahkan kedudukan mereka. Allah swt berfirman, ”Dan janganlah kalian mencaci diri kalian dan jangan saling melecehkan dengan panggilan-panggilan yang buruk.. ” (QS. Al Hujuraat : 11). Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Seorang mukmin bukanlah orang pencela, pelaknat, pelontar kata-kata kotor dan kasar.” (HR. Ahmad, Turmudzi dan Hakim). Perhatikanlah sikap Rasulullah saw saat ia menghadapi suatu masalah yang terjadi antara Ali, Zaid dan Ja’far ra dhiallahu anhum. Bagaimana Rasulullah saw ketika itu mampu memilah antara persoalan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya dengan sangat bijak tapi tegas. Ini disebutkan dalam sebuah hadits shahih diriwayatkan oleh Al Bukhari, dari Al Barra yang mengatakan, ”Ketika Rasulullah saw melakukan umrah di bulan Dzulhijjah.... Rasulullah saw keluar diikuti puteri Hamzah yang memang- gil, ”Paman.. paman. ” Puteri Hamzah itu langsung disambut oleh Ali yang memegang tangan gadis cilik tersebut sambil mengatakan kepada Fatimah, ”Jagalah putri Hamzah ini.” Lalu, Fatimah menggendongnya. Tapi tak lama kemudian terjadi perselisihan antara Ali, Zaid dan Ja’far tentang kepengurusan putri Hamzah. Ali berkata, ”Aku yang telah mengambilnya dan diapun putri dari pamanku.” Sedangkan Ja’far mengatakan, ”Dia adalah putri pamanku dan bibinya pun menjadi istriku. Kemudian Zaid mengatakan, ”Dia adalah putri saudara laki-lakiku.” Akhirnya Rasulullah saw memutuskan agar putri Hamzah itu dibesarkan oleh bibinya. Rasulullah saw bersabda, ”Bibi itu setara dengan ibu.” Ia bersabda kepada Ali, ”Engkau bagian dariku, dan aku bagian darimu.” Rasulullah saw juga mengatakan kepada Ja’far, ”Engkau mirip denganku dalam rupa dan prilaku.” Sedangkan kepada Zaid, Rasulullah saw bersabda, ”Engkau adalah saudara dan maula kami.” Ali bertanya kepada Rasulullah saw, ”Apakah engkau ingin mengawini putri Hamzah?” Rasul saw menjawab, ”Dia adalah putri dari saudaraku sesusuan.” (HR. Bukhari). Di antara praktik memilah antara masalah dan orang yang terlibat dalam masalah itu juga dilakukan oleh Rasulullah saw saat Fathu Makkah. Ketika Abu Sufyan lewat di hadapan Saad bin Ubadah, dan ketika itu Saad telah menjadi salah satu pemimpin pasukan Muslimin. Saad berkata pada Abu Sufyan, ”Hari ini adalah hari pembantaian. Hari ini, Allah menghinakan kaum Quraisy.” Perkataan itu kemudian terdengar oleh Rasulullah saw yang menjadikannya marah. Rasulullah saw mencopot kedudukan Saad sebagai komandan, sambil mengatakan, ”Hari ini adalah hari kasih sayang.” Rasulullah saw ingin mengajarkan kepada semua orang tentang kerendah hatian, tentang kasih sayang, tentang sifat memaafkan. Tapi di sisi lain, ia juga tidak melupakan Saad bin Ubadah sebagai seorang sahabat yang telah berjihad di jalan Allah dan menolong agama Islam saat itu. Karenanya, orang yang ditunjuk menggantikan Saad adalah putranya sendiri. Ada lagi kisah yang sangat menyentuh dalam sejarah dakwah Rasulullah saw. Ketika usai perang Hunain, Rasulullah saw berhasil menenangkan kaum Anshar dengan memberikannya peran membagi ghanimah. Rasulullah saw memilah antara Anshar dengan permasalahan yang ada yakni tidak adanya bagian ghanimah untuk kaum Anshar. Berawal dari cara Rasulullah saw. membagi-bagikan gha nimah Hunain. Beliau membagi justru kepada orang-orang yang baru masuk Islam pada saat penaklukan Makkah, yang belum banyak perngorbanannya. Bahkan pada perang Hunain itu justru merekalah yang pertama lari tunggang-langgang saat mendapat gempuran awal dari musuh. Sedangkan orang-orang yang sudah sejak awal turut berjuang dan malang-melin tang dalam kancah jihad, kaum Anshar, tidak mendapatkan sedikit pun dari ghani mah itu. Sampai-sampai seseorang dari kalangan Anshar berkata kepada sesama mereka, “Sekarang Rasulullah saw sudah bertemu dengan kaumnya.” Rasulullah saw kemudian meminta pimpinan mereka, Sa’ad Bin Ubadah untuk mengumpulkan seluruh kaum Anshar di satu tempat. Setelah berkumpul, Rasulullah saw datang untuk menasihati mereka. “Apa desas-desus yang berkembang di tengah-tengah kalian? Apa perasaan-perasaan yang ada di hati kalian terhadapku?” kata Rasulullah membuka khutbah, setelah bertahmid dan menyan- jung Allah swt. “Bukankah aku datang kepada kalian dalam keadaan kalian tersesat lalu Allah memberi kalian petunjuk? Kalian miskin lalu Allah memberi kalian kecukupan? Kalian bermusuhan lalu Allah memadukan hati kalian?” Mereka mengatakan, “Benar, Allah dan Rasul-Nyalah yang paling berjasa dan paling utama.” Rasulullah saw melanjutkan, “Wahai kaum Anshar, mengapa kalian tidak menjawabku?” Mereka akhir nya menjawab, ‘Engkau datang kepada kami, wahai Rasulullah, dalam keadaan didustakan lalu kami mempercayai engkau. Engkau datang dalam keadaan dihinakan lalu kami membela engkau. Engkau datang kepada kami dalam keadaan terusir lalu kami melindungi engkau. Engkau datang kepada kami dalam keadaan sengsara lalu kami membantu engkau’. Wahai kaum Anshar, apakah hati kalian lebih mencintai kemilau dunia yang dengannya aku menjinakkan hati sebagian orang agar teguh dalam Islam padahal aku mengandalkan kalian pada keislaman kalian?” Dan pada akhirnya kaum Anshar menyadari kekeliruan mereka dalam memposisikan diri mereka dan memandang Rasulullah saw. Mereka menangis sejadi-jadinya hingga janggut-janggut mereka basah dengan air mata seraya mengatakan, “Kami puas dengan Rasulullah saw sebagai bagian kami.” DR. Ali Al Hammadi*), Tarbawi, Edisi 200 Th.10, Rabiul Akhir 1430, 2 April 2009 *)DR . Ali Al Hammadi adalah kombinasi antara trainer sekaligus da’i. Komitmen Islamnya yang kuat sekaligus penguasaan ilmu manajemen mengantarkannya menjadi pakar HRD terkenal di sejumlah negara Islam. Selain pendiri sekaligus Direktur Creative Thinking Center, Dubay, UEA, ia juga mengepalai Lembaga Ad Daqiqah Al Wahidah Center, UEA. Sejalan dengan kompetensinya, ia memimpin Leadership Training and Consulting Centre dan mengasuh Islamtime.net. Meraih gelar Bachelour Teknik di North Carolina University, AS 1982, kemudian gelar S3 Manajemen, di Wales University, Inggris tahun 1991. Tahun 1997 ia mendapatkan gelar Diploma NLP (Neuro-Linguistic Programming).

Tidak ada komentar: