Sabtu, 17 September 2011

Aksi Kekerasan di Sekolah, Fenomena Generasi Fantasi di Era Cyber

Bullying merupakan istilah yang memang belum cukup dikenal oleh masyarakat luas di Indonesia meski perilakunya eksis di dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan di dalam institusi pendidikan. Menurut Andrew Mellor dari Anti bullying Network University of Edinburgh, bullying terjadi ketika seseorang merasa teraniaya oleh tindakan orang lain baik yang berupa verbal, fisik maupun mental dan orang tersebut takut bila perilaku tersebut akan terjadi lagi. Berdasarkan pengaduan masyarakat, Komisi Nasional Perlindungan Anak memberi definisi atau pengertian terhadap bullying adalah: kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi dimana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma / depresi dan tidak ber- daya. Tindakan kekerasan yang dilakukan senior terhadap junior di sekolah bukan- lah hal yang baru dalam dunia anak-anak usia sekolah. Kasus kekerasan ini telah lama terjadi di Indonesia, namun luput dari perhatian. Disejumlah negara maju pusat krisis untuk kasus semacam ini telah didirikan. Keprihatinan yang semakin mendalam terhadap suasana mencekam akibat semakin parahnya kekerasan yang terjadi di sekolah-sekolah, serta sudah teramat banyaknya kejadian mengiris hati yang mengundang reaksi negatif. Maka untuk peningkatan kesadaran masyarakat akan dampak negatif dari peristiwa-peristiwa tersebut, Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA) sebuah lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, memusatkan perhatiannya pada upaya-upaya membangkitkan nilai-nilai keluhuran agar tercermin dalam perilaku sehari-hari. Nilai-nilai tersebut meliputi aspek-aspek moral, spiritual, harga diri, integritas, keteladanan, kepekaan sosial, dan profesionalisme. Yayasan ini diketuai oleh Diena Haryana, seorang Managing Director pada Business Dynamic. Sebuah perusahaan yang bergerak pada bidang pendidikan dan konsultan training. Diena dan yayasan yang dipimpinnya, berusaha sekuat tenaga untuk mengkampanyekan aksi anti bullying lewat berbagai program acara yang telah digelarnya di berbagai sekolah di Indonesia. Banyak pihak menganggap bullying sebagai bagian wajar dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku bullying seringkali dianggap perlu untuk menegakkan di siplin ataupun untuk memperkuat mental siswa misalnya makian dan penggencetan saat Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) di sekolah. Perilaku bullying pun seringkali tanpa sadar menjadi bagian dari interaksi sosial, seperti ketika ejekan yang ditujukan untuk bercanda berkembang menjadi masalah serius. Bullying dapat berdampak buruk, di antaranya menimbulkan kecemasan, perasaan tidak aman, terisolasi, perasaan harga diri yang rendah, kurangnya kemampuan untuk bersosialisasi, membuat siswa stress, mogok sekolah, kehilangan kepercayaan diri atau bahkan bunuh diri. Yang paling membahayakan, banyaknya aksi bullying dapat menyuburkan budaya kekerasan pada siswa sehingga mereka nekat bergabung dalam geng yang sering melakukan aksi kekerasan. Masalah bullying ini bagaikan lingkaran, tidak berujung. Adanya perasaan dendam karena dulu pernah ditindas oleh senior menyebabkan korban bullying ingin menindas orang lain. Anak yang mengalami bullying di rumah dan tidak mampu membela dirinya, bisa jadi melampiaskan kemarahannya pada teman-teman di sekolah atau sebaliknya. Mereka cenderung menyelesaikan masalah dengan cara kekerasan. ”Dari media saja, antara tahun 2002 dan 2005 didapatkan fakta sekitar 30 kasus bunuh diri di kalangan anak dan remaja usia 6 sampai 15 tahun di Indonesia. Anak-anak itu terdorong berbuat nekat karena ejekan, cemoohan dan olok-olok teman yang mungkin terkesan sepele, tetapi dapat menjadi senjata tak kenal ampun yang secara perlahan tetapi pasti dapat menghancurkan seorang anak,” urai Diena. Diena mencontohkan, ada seorang anak SMA yang bapaknya berprofesi sebagai tukang bubur ayam. Selama beberapa tahun, si anak dikata-katai oleh teman-temannya sebagai anak yang tidak berharga. Akhirnya ia memutuskan bunuh diri. Perilaku bullying terbagi menjadi 3 bentuk, secara fisik bisa dalam bentuk memukul, menampar, memalak atau meminta paksa yang bukan miliknya, hingga pengeroyokan. Kemudian verbal seperti memaki, mengejek, menggosip, membodohkan dan mengkerdilkan. Dan yang terakhir, dengan cara psikologis, seperti: mengintimidasi, mengecilkan, mengabaikan. Aksi bullying dapat berdampak menurunkan tingkat kecerdasan dan kemampuan analisis siswa yang menjadi korban, bahkan sampai berusaha bunuh diri. Bullying juga berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai-nilai akademik dan tindakan bunuh diri. Pelaku bullying berpotensi tumbuh sebagai pelaku kriminal dibanding yang tidak melakukan bullying. Ini kadang tidak disadari oleh para pendidik dan orang tua murid. Faktor penyebab aksi bullying ini adalah akibat: Perilaku feodal (pemaknaan senior/yunior), pubertas pada masa remaja (pencarian jati diri), krisis identitas, kekerasan dalam rumah tangga dan di sekolah. Pengawasan perilaku yang kurang dari orang tua dan guru, imitasi dari tontonan media yang mengandung unsur kekerasan, seksualitas/pornografi, hingga fanatisme yang berlebihan. Sudah banyak penelitian di berbagai negara maju yang menunjukkan dampak-dampak perilaku bullying yang cukup memprihatinkan. Sementara itu, di Indonesia sendiri kesadaran tentang adanya perilaku bullying masih terbatas pada pemerhati pendidikan saja. Salah satu bukti tentang hal ini adalah kenyataan bahwa di Indonesia hingga saat ini belum memiliki terminologi bullying yang tepat dalam bahasa Indonesia. Walaupun ada kata “gencet-gencetan”, tapi belum cukup mewakili beragamnya perilaku bullying yang ada. “Ketika SEJIWA memperkenalkan topik bullying dalam salah satu sesi program pelatihan “Guru Penyemai Potensi”, kecuali di satu sekolah, tak ada seorang pun guru yang memahami apa itu perilaku bullying. Padahal permasalahan bullying ini banyak muncul di sekolah,” papar Diena lagi. Diena menganjurkan kepada pihak sekolah agar membentuk budaya sekolah yang punya atmosfer “Belajar Tanpa Rasa Takut ” melalui pendidikan karakter. Diena juga mengajak menciptakan kebijakan pencegahan bullying di sekolah masing-masing agar aksi bullying dapat kita hindari. Menurut psikolog Octa Reni Setiawati, setidaknya ada tiga alasan kenapa sekelompok siswa melakukan bullying hingga membentuk geng kekerasan. Pertama, anak-anak siswa sekarang ini mengalami tekanan hidup yang lebih keras dari generasi sebelumnya ketika menghadapi kompetisi di sekolah maupun tugas pelajaran dan ujian yang terlalu memeras pikiran. Hal ini memang tidak bisa dijadikan alasan bagi siswa-siswa itu mencari pelarian tercela dengan membentuk geng yang diwarnai kekerasan. Kedua, para siswa yang sarat fantasi di era cyber ini terpersonifikasi memiliki eksistensi baru dalam perilaku tertentu yang menemukan identitasnya pada corak tindak kekerasan. Mereka lalu terbentuk melalui asa yang terasah lewat hobi yang cenderung asosial. Berbagai bentuk games yang ada di rumah dan dalam pergaulan di peer group (teman sebaya) atau melalui Play Station, atau download dari portal website telah menyandera diri mereka menjadi pribadi-pribadi asing yang anomali. Ketika asosial itu terinternalisasi dan membentuk pribadi yang cenderung eksklusif, yang tampak kemudian adalah sikap anti persahabatan dengan sesama. Cuek dan miskin empati terhadap orang lain. Kendati tidak secara langsung berkait, sangat mungkin kelompok semisal geng Nero dan lainnya bersumber dari pemahaman konsep diri serta lingkungan yang asosial tersebut. Tak hanya itu, deretan aksi kekerasan tersebut dapat ditonton langsung lewat tayangan televisi yang membuat bulu kuduk kita bergidik. Sekolah hendaknya memberikan bimbingan rutin sekaligus pengawasan terus-menerus terhadap segala aktivitas yang dilakukan geng sekolahnya. Selain sekolah, orangtua juga tetap bertanggung jawab agar selalu memotivasi anak-anak nya untuk membentuk atau bergabung dengan kelompok yang mencerminkan perilaku positif. Maka para orangtua senyatanya proaktif sebagai partner dan mengarahkan anak-anak mereka dalam aneka pergaulan sosial. Dalam terminologi pendidikan Islam, ada satu cara yang perlu dilakukan orangtua untuk mendidik anak agar mereka menjadi anak yang saleh. Caranya dengan memberi hukuman atau sanksi bila anak tidak juga melakukan sesuatu yang mesti dilakukan, sementara perintah yang lemah lembut sudah dilakukan, tetapi tidak membuat sang anak mau berubah ke arah yang lebih baik. Isyarat memberi sanksi atau menghukum anak, misalnya terdapat dalam lanjutan hadits tentang perintah shalat kepada anak, Rasulullah saw bersabda: “Suruhlah anak-anakmu shalat bila berumur tujuh tahun, dan gunakan pukulan jika mereka sudah berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka” (HR Abu Dawud). Hal ini berarti dalam mendidik itu harus ada disiplin dan ketegasan sehingga anak menjadi tahu dan sadar mana yang harus dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan. Kata pukul di atas bisa kita maksudkan sebagai sanksi. Dan orangtua serta gurulah yang paling tahu, sanksi apa yang paling tepat untuk diberlakukan kepada anak-anaknya. Dan kata pukul di atas tentu tidak mesti kita pahami sebagai pukul secara fisik, bisa saja berarti pukul dalam bentuk sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan umur anak. Jadi nilai-nilai anti bullying sangat selaras dengan nilai-nilai Islam itu sendiri yang mengajarkan kasih sayang. Sementara bagaimana memberikan sanksi itu sendiri, hanya masalah perbedaan cara atau metode yang diberikan. Lebih dari itu, semakin dewasa umur anak, maka Islam menganjurkan para orang tua atau para pendidik mengembangkan suasana yang dialogis dalam memberikan pengajaran kepada anak-anaknya. Hal ini sebagaimana Nabi Ibrahim as, telah mencontohkan bagaimana beliau berdialog dengan anaknya, Ismail dalam menyampaikan perintah Allah guna menyembelih Ismail as. Mendidik anak dengan dialog insya Allah akan membuat si anak mau melakukan sesuatu yang baik dengan penuh kesadaran. Tidak semata-mata karena ada orangtuanya. Hal ini sangat penting, karena tidak mungkin orangtua terus menerus bersama anaknya selama 24 jam setiap harinya. Gambaran suasana yang dialogis antara Nabi Ibrahim dengan Ismail terdapat dalam surat As Shaaffat ayat 102. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup/baligh) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, apa pendapatmu.” Ia (Ismail) menjawab, “Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Suasana dialogis seperti ini, nampaknya akan lebih efektif, jika dilakukan untuk mendidik anak-anak remaja jaman sekarang yang semakin cerdas dan kritis. Rahmat Ubaidillah, Tarbawi Edisi 200 Th.10, Rabiul Akhir 1430, 2 April 2009

Tidak ada komentar: