Minggu, 18 September 2011

Saat Embun Menembus Batu

Pengetahuan kita memang sedikit. Teramat sedikit. Hanya seperti setetes embun di lautan pengetahuan Allah. Itupun tidak bisa dengan sendirinya menciptakan peristiwa-peristiwa kehidupan kita. Kesalahan kita, dengan begitu, selalu ada di situ; saat dimana kita menafsirkan seluruh proses kehidupan kita dengan pengetahuan sebagai tafsir tunggal. Tapi setetes embun itu yang sebenarnya memberikan sedikit kuasa bagi manusia atas peserta alam raya lainnya, dan karenanya membedakannya dari mereka. Walaupun bukan dalam kerangka hubungan kausalitas mutlak, Allah tetap saja menyebutnya sultan; kekuasaan, kekuatan. Pengetahuan menjadi kekuasaan dan kekuatan karena Allah dengan kehendakNya meniupkan kuasa dan kekuatan itu kedalamnya kapan saja Ia menghendakiNya. Dan karena pengetahuan itu adalah imput Allah yang diberikannya kepada akal sebagai infrastruktur komunikasi manusia denganNya, maka ia menjadi pen ting sebagai penuntun bagi kehidupan manusia. Dalam kerangka itulah Allah mengulangi kata ilmu, dengan seluruh perubahan morfologisnya, berulang kali dalam Al Qur’an. Di jalur makna seperti itu pula Rasulullah saw mengatakan: “Siapa yang menginginkan dunia hendaklah ia berilmu. Siapa yang menginginkan akhirat hendaklah ia berilmu. Siapa yang menginginkan kedua-duanya hendaklah ia berilmu.” Ada sesuatu yang tampak tidak bertemu disini; antara ilmu yang sedikit, dan kuasa yang diberikan Allah pada ilmu yang sedikit itu. Yang pertama menyadarkan kita akan ketidakberdayaan kita. Tapi yang kedua menggoda kita dengan kekuasaan besar atas dunia kita. Kisah Fir’aun, Haman dan Qarun, adalah kisah orang-orang yang gagal menemukan titik temu antara keduanya. Sebaliknya ada kisah Yusuf dan Sulaeman yang menemukan simpul perekat antara kedua situasi itu. Yusuf menguasai perbendaharaan negara karena ia, seperti yang beliau lukiskan sendiri, hafiz ‘aliim; penjaga harta yang tahu bagaimana cara menjaganya. Ilmu tentang bagaimana menjaga harta kekayaan negara telah memberinya posisi tawar politik yang kuat dalam kerajaan. Begitu juga dengan kerajaan Sulaeman yang disangga oleh para ilmuwan yang bahkan melampaui kedalaman ilmu pasukan Jinnya. Sebab pasukan Jin hanya mampu memindahkan singgasana Balqis dari Yaman ke Palestina dalam waktu antara duduk dan berdirinya Sulaeman. Sementara para ilmuwannya mampu memindahkan singgasana itu dalam satu kedipan mata. Itu bukan pengiriman data dan suara seperti dalam sms dan hubungan telepon. Tapi pengiriman barang atau cargo. Luar biasa. Bukan terutama pengetahuannya yang luar biasa. Tapi tafsir Sulaeman atas itu semua: “Ini adalah keutamaan dari Tuhanku, yang dengan itu Ia hendak menguji aku, apakah aku akan bersyukur atau mengingkari (kufur) nikmat itu”. Sulaeman memahami bahwa Allahlah yang meniupkan sedikit kuasa pada pengetahuan itu. Sedikit kuasa itu membuatnya percaya diri di depan Balqis dengan menggunakan diplomasi tehnologi dalam menyampaikan risalah, tapi juga membuatnya rendah hati dan bersyukur di depan Allah. Itulah kata kuncinya: kerendahan hati dan kepercayaan diri. Persis seperti embun; sejuk karena kerendahan hati, tapi tak pernah berhenti menetes karena percaya bahwa dengan kelembutannya ia bisa menembus batu. Anis Matta, Tarbawi, Edisi 217 Th.11, Dzulhijjah 1430, 17 Desember 2009

Agar Hanya Allah yang Tahu

Jika kita tahu, ini jalan perjuangan. Maka perjuangan memiliki makna kesungguhan, keseriusan, pengorbanan. Tidak ada harapan yang bernuansa menerima di sini. Kecuali berharap menerima balasan dari-Nya semata. Jalan ini, memang bukan jalan biasa. Hanya ada memberi, dan memberi. Memberi apa yang kita bisa, mengorbankan apa yang kita bisa korbankan. Bersyukurlah bila masih ada orang yang mau diberi, oleh kita. Bersyukurlah bila kita masih diminta untuk memberi. Bersyukurlah bila kita diberi ruang untuk bisa berkorban lebih banyak, di jalan ini, jalan Allah swt. Saudaraku, Modal terbesar kita di sini adalah, keikhlasan. Itulah inti kekuatan kita, dalam berjalan beramal, berjuang di sini. Sebuah kata yang kerap kita dengar, tapi sangat jarang mendapati wujudnya dalam hidup ini. Karena menurut salafushalih, keikhlasan memang sifat yang paling sulit dimiliki. Al Juneid mengatakan, ”Keikhlasan itu adalah rahasia antara Allah dan seorang hamba. Tidak diketahui oleh Malaikat sehingga tidak bisa ditulis, tidak diketahui oleh syaitan sehingga tidak bisa dirusak oleh syaitan. Juga tidak juga bisa dikenali hawa nafsu sehingga tidak bisa disimpangkan oleh nafsu. Artinya, keikhlasan tidak bisa dibuat-buat, direkayasa, dikendalikan, atau di-rasa-rasakan. Ia telah muncul begitu saja di dalam diri kita, lalu mengalir dalam da- rah dan menguasai jiwa. Dan karenanya, mengendalikan jiwa itu menjadi suatu pekerjaan yang sangat sulit. Dalam kitab Ihya Ulumiddin, Al Ghazali mengutip ungkapan Sahl bin Abdullah At Tusturi, ketika ditanya, ”Apakah yang paling berat dilakukan oleh jiwa?” Ia mengatakan, ”Keikhlasan, karena jiwa tidak mempun- yai bagian untuk mengendalikannya.” Dalam banyak uraian tentang keikhlasan. Para ulama banyak yang memberi definisi ikhlas. Kian kita mencari kandungan dan makna Ikhlas, akan semakin sadarlah kita betapa sulit memilikinya. Sebut saja salah satu definisi keikhlasan yang disebut para ulama, “Keikhlasan itu adalah berusaha melindungi amal yang dilakukan dari pengetahuan makh- luk, termasuk dari pengetahuan dirimu sendiri” Atau, juga pendapat Fudhail bin Iyadh: “Meninggalkan amal karena manusia itu adalah riya, beramal karena manusia itu syirik. Ikhlas itu adalah bila engkau beramal dan engkau dilindungi Allah dari kedua kondisi tadi.” Ya’qub Al Makfuuf mengatakan, “Orang yang ikhlas adalah yang menyembunyikan kebaikannya, sebagaimana ia menyembunyikan keburukannya.” Ibnu Taimiyah mengatakan, “Batas keikhlashan adalah seperti perkataan sebagian mereka, “Orang yang ikhlash adalah yang tidak peduli bila ia tidak dianggap di hati manusia demi kebaikan hatinya dengan Allah swt. Dan tidak suka bila orang lain mengetahui sedikit saja kebaikan dari apa yang dilakukannya.” Bahkan yang lebih mendalam lagi, dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, “Barangsiapa yang bersaksi atas keikhlasan dirinya, maka keikhlasannya itu memerlukan keikhlasan. Indikator kekurangan orang yang ikhlash dalam keikhlasannya, sejauh mana ia merasakan dirinya ikhlash. Jika ia tidak lagi memandang dirinya ikhlas, berarti dialah seorang yang ikhlas dan ikhlas (mukhlishan mukhlishan). (Madarij As Saalikin, 2/91) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menceritakan bahwa Abu Hamid Al Ghazali pernah mendengarkan kata-kata hikmah yang menyebutkan, barangsiapa yang berbuat ikhlas semata-mata karena Allah selama empat puluh hari maka akan memancar hikmah dalam hati orang tersebut melalui ucapannya. Abu Hamid Al Ghazali mengatakan. “Maka aku berbuat ikhlas selama empat puluh hari, tapi ternyata tidak memancar apa-apa dariku, lalu aku sampaikan hal ini kepada sebagian ahli ilmu, di antara mereka mengatakan, “Sesungguhnya engkau ikhlas hanya untuk mendapatkan hikmah, dan bukan karena Allah semata....” Saudaraku, Sekali lagi, terbayanglah betapa keikhlasan itu sulit sekali dimiliki. Muhammad bin Wasi’ mengatakan, “Dahulu orang shalih ada yang menangis di sisi sahabatnya, tapi sahabatnya tidak tahu dia menangnis. Bahkan ada sorang suami yang menangis di waktu malam, sedangkan antara kepalanya dan kepala istrinya ada di atas satu bantal dan telah basah karena air mata. Tapi istrinya tidak tahu bila suaminya menangis.” Mungkinkah kita memiliki keikhlasan? Tanpa bantuan Allah swt, kita tak bisa memilikinya. Itu sebabnya, Rasulullah saw selalu berdo’a, ”Wahai Yang Membolak Balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu. Wahai Yang Memalingkan hati, palingkanlah hatiku untuk taat kepada-Mu.” (HR. Muslim) Saudaraku, Jika kita ada di jalan perjuangan dakwah, maka keikhlasan itu memiliki definisinya sendiri seperti disampaikan Imam Hasan Al Banna rahimahullah. Ikhlash adalah bila seorang pejuang Muslim yang mengorientasikan perkataannya, amalnya, jihadnya semua untuk Allah swt dan mengharap ridha-Nya dan kebaikan pahalanya. Tanpa melihat pada perolehan harta, manfaat, penampilan, kedudukan, julukan, kemajuan atau kemunduran. Agar ia menjadi seorang yang ikhlas, menjadi bala tentara fikrah (ideologi) dan akidah (keyakinan), bukan bala tentara keinginan atau manfaat.” Saudaraku, Jalan dan melangkahlah terus. Jangan berhenti. Mungkin saja ada kebahagiaan, kenikmatan yang bisa menyenangkan kita di sini. Tapi itu tidak boleh menggeser dan menyimpangkan niat dan tujuan, hanya untuk Allah swt, untuk ridha-Nya, untuk dakwah-Nya. Ketika kita melang- kah, berlari, diam, dan berbahagia di jalan ini, semuanya adalah untuk dan karena Allah swt. Lalu, jika ada aral dan batu di jalan ini, mengganggu langkah. Jika ada cuaca dan suasana jalan ini terasa merongrong hati untuk berhenti. Bila ada peristiwa yang bisa melelehkan air mata dalam hati, kedukaan, atau luka, di jalan ini, tetaplah berjalan jangan berhenti. Kita akan terus berjalan di sini. Agar hanya Allah yang tahu... semua kepahitan dan luka itu, bagian dari persembahan, pengabdian, pengorbanan... untuk-Nya.. di jalan-Nya. Dengan itulah, kesulitan dan kepahitan menjadi nikmat dan kebahagiaan. Karena kita di sini, adalah karena-Nya dan untuk-Nya.. bukan untuk siapa-siapa. Semoga kita ikhlas menerima dan men- jalani semuanya..... M. Lili Nur Aulia, Edisi 217 Th.11, Dzulhijjah 1430, 17 Desember 2009

Sabtu, 17 September 2011

Pisahkan Masalah dan Orang yang Terlibat dalam Masalah

Berinteraksi dengan orang, adalah kerja sulit dan rumit. Manusia bukan komputer. Manusia makhluk yang mempunyai perasaan, terkadang bahkan sangat sensitif, sehingga semakin mempersulit interaksi kita dengan mereka. Terkadang, kita mencampuri perasaan dengan kenyataan yang menjadi sumber masalah. Lalu kita mensejajarkan orang dengan permasalahannya. Karenanya, sebelum kita mencari solusi yang paling utama, kita harus bisa melepaskan antara permasalahan seseorang dari inti masalah serta upaya untuk mengatasinya. Pihak yang melakukan perundingan, dialog, biasanya terburu menganggap diri mereka berhadapan dengan pihak musuh secara pribadi sehingga sulit bagi mereka untuk memutus kaitan masalah pribadi dengan masalah yang ingin dipecahkan. Bila terjadi situasi seperti ini, apapapun yang keluar dari pihak yang berdiskusi,dan berunding tentang suatu masalah, sesuai dengan apa yang terbersit dalam pikiran tentang sosok pihak yang ada di hadapannya. Efeknya, masing-masing pihak akan mengang- gap dan menyatakan sikap yang bertentangan dan sama sekali tidak menganggap kepentingan pihak lainnya. Padahal dalam situasi berunding, masing-masing pihak harus menganggap mereka satu sama lain bersama-sama, saling melengkapi, bukan saling menyingkirkan. Ini penting dilakukan supaya ada komunikasi yang seimbang sehingga menghasilkan kesepakatan yang adil, bermanfaat dan disepakati oleh kedua belah pihak. Jika Anda berinteraksi dengan orang lain, berlakulah dengan sopan, lemah lembut dan adab yang baik. Tapi bersikaplah terhadap permasalahan yang sedang didiskusikan dan dirundingkan itu dengan tegas, kuat, tanpa mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan pihak lain atau merendahkan kedudukan mereka. Allah swt berfirman, ”Dan janganlah kalian mencaci diri kalian dan jangan saling melecehkan dengan panggilan-panggilan yang buruk.. ” (QS. Al Hujuraat : 11). Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Seorang mukmin bukanlah orang pencela, pelaknat, pelontar kata-kata kotor dan kasar.” (HR. Ahmad, Turmudzi dan Hakim). Perhatikanlah sikap Rasulullah saw saat ia menghadapi suatu masalah yang terjadi antara Ali, Zaid dan Ja’far ra dhiallahu anhum. Bagaimana Rasulullah saw ketika itu mampu memilah antara persoalan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya dengan sangat bijak tapi tegas. Ini disebutkan dalam sebuah hadits shahih diriwayatkan oleh Al Bukhari, dari Al Barra yang mengatakan, ”Ketika Rasulullah saw melakukan umrah di bulan Dzulhijjah.... Rasulullah saw keluar diikuti puteri Hamzah yang memang- gil, ”Paman.. paman. ” Puteri Hamzah itu langsung disambut oleh Ali yang memegang tangan gadis cilik tersebut sambil mengatakan kepada Fatimah, ”Jagalah putri Hamzah ini.” Lalu, Fatimah menggendongnya. Tapi tak lama kemudian terjadi perselisihan antara Ali, Zaid dan Ja’far tentang kepengurusan putri Hamzah. Ali berkata, ”Aku yang telah mengambilnya dan diapun putri dari pamanku.” Sedangkan Ja’far mengatakan, ”Dia adalah putri pamanku dan bibinya pun menjadi istriku. Kemudian Zaid mengatakan, ”Dia adalah putri saudara laki-lakiku.” Akhirnya Rasulullah saw memutuskan agar putri Hamzah itu dibesarkan oleh bibinya. Rasulullah saw bersabda, ”Bibi itu setara dengan ibu.” Ia bersabda kepada Ali, ”Engkau bagian dariku, dan aku bagian darimu.” Rasulullah saw juga mengatakan kepada Ja’far, ”Engkau mirip denganku dalam rupa dan prilaku.” Sedangkan kepada Zaid, Rasulullah saw bersabda, ”Engkau adalah saudara dan maula kami.” Ali bertanya kepada Rasulullah saw, ”Apakah engkau ingin mengawini putri Hamzah?” Rasul saw menjawab, ”Dia adalah putri dari saudaraku sesusuan.” (HR. Bukhari). Di antara praktik memilah antara masalah dan orang yang terlibat dalam masalah itu juga dilakukan oleh Rasulullah saw saat Fathu Makkah. Ketika Abu Sufyan lewat di hadapan Saad bin Ubadah, dan ketika itu Saad telah menjadi salah satu pemimpin pasukan Muslimin. Saad berkata pada Abu Sufyan, ”Hari ini adalah hari pembantaian. Hari ini, Allah menghinakan kaum Quraisy.” Perkataan itu kemudian terdengar oleh Rasulullah saw yang menjadikannya marah. Rasulullah saw mencopot kedudukan Saad sebagai komandan, sambil mengatakan, ”Hari ini adalah hari kasih sayang.” Rasulullah saw ingin mengajarkan kepada semua orang tentang kerendah hatian, tentang kasih sayang, tentang sifat memaafkan. Tapi di sisi lain, ia juga tidak melupakan Saad bin Ubadah sebagai seorang sahabat yang telah berjihad di jalan Allah dan menolong agama Islam saat itu. Karenanya, orang yang ditunjuk menggantikan Saad adalah putranya sendiri. Ada lagi kisah yang sangat menyentuh dalam sejarah dakwah Rasulullah saw. Ketika usai perang Hunain, Rasulullah saw berhasil menenangkan kaum Anshar dengan memberikannya peran membagi ghanimah. Rasulullah saw memilah antara Anshar dengan permasalahan yang ada yakni tidak adanya bagian ghanimah untuk kaum Anshar. Berawal dari cara Rasulullah saw. membagi-bagikan gha nimah Hunain. Beliau membagi justru kepada orang-orang yang baru masuk Islam pada saat penaklukan Makkah, yang belum banyak perngorbanannya. Bahkan pada perang Hunain itu justru merekalah yang pertama lari tunggang-langgang saat mendapat gempuran awal dari musuh. Sedangkan orang-orang yang sudah sejak awal turut berjuang dan malang-melin tang dalam kancah jihad, kaum Anshar, tidak mendapatkan sedikit pun dari ghani mah itu. Sampai-sampai seseorang dari kalangan Anshar berkata kepada sesama mereka, “Sekarang Rasulullah saw sudah bertemu dengan kaumnya.” Rasulullah saw kemudian meminta pimpinan mereka, Sa’ad Bin Ubadah untuk mengumpulkan seluruh kaum Anshar di satu tempat. Setelah berkumpul, Rasulullah saw datang untuk menasihati mereka. “Apa desas-desus yang berkembang di tengah-tengah kalian? Apa perasaan-perasaan yang ada di hati kalian terhadapku?” kata Rasulullah membuka khutbah, setelah bertahmid dan menyan- jung Allah swt. “Bukankah aku datang kepada kalian dalam keadaan kalian tersesat lalu Allah memberi kalian petunjuk? Kalian miskin lalu Allah memberi kalian kecukupan? Kalian bermusuhan lalu Allah memadukan hati kalian?” Mereka mengatakan, “Benar, Allah dan Rasul-Nyalah yang paling berjasa dan paling utama.” Rasulullah saw melanjutkan, “Wahai kaum Anshar, mengapa kalian tidak menjawabku?” Mereka akhir nya menjawab, ‘Engkau datang kepada kami, wahai Rasulullah, dalam keadaan didustakan lalu kami mempercayai engkau. Engkau datang dalam keadaan dihinakan lalu kami membela engkau. Engkau datang kepada kami dalam keadaan terusir lalu kami melindungi engkau. Engkau datang kepada kami dalam keadaan sengsara lalu kami membantu engkau’. Wahai kaum Anshar, apakah hati kalian lebih mencintai kemilau dunia yang dengannya aku menjinakkan hati sebagian orang agar teguh dalam Islam padahal aku mengandalkan kalian pada keislaman kalian?” Dan pada akhirnya kaum Anshar menyadari kekeliruan mereka dalam memposisikan diri mereka dan memandang Rasulullah saw. Mereka menangis sejadi-jadinya hingga janggut-janggut mereka basah dengan air mata seraya mengatakan, “Kami puas dengan Rasulullah saw sebagai bagian kami.” DR. Ali Al Hammadi*), Tarbawi, Edisi 200 Th.10, Rabiul Akhir 1430, 2 April 2009 *)DR . Ali Al Hammadi adalah kombinasi antara trainer sekaligus da’i. Komitmen Islamnya yang kuat sekaligus penguasaan ilmu manajemen mengantarkannya menjadi pakar HRD terkenal di sejumlah negara Islam. Selain pendiri sekaligus Direktur Creative Thinking Center, Dubay, UEA, ia juga mengepalai Lembaga Ad Daqiqah Al Wahidah Center, UEA. Sejalan dengan kompetensinya, ia memimpin Leadership Training and Consulting Centre dan mengasuh Islamtime.net. Meraih gelar Bachelour Teknik di North Carolina University, AS 1982, kemudian gelar S3 Manajemen, di Wales University, Inggris tahun 1991. Tahun 1997 ia mendapatkan gelar Diploma NLP (Neuro-Linguistic Programming).

Aksi Kekerasan di Sekolah, Fenomena Generasi Fantasi di Era Cyber

Bullying merupakan istilah yang memang belum cukup dikenal oleh masyarakat luas di Indonesia meski perilakunya eksis di dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan di dalam institusi pendidikan. Menurut Andrew Mellor dari Anti bullying Network University of Edinburgh, bullying terjadi ketika seseorang merasa teraniaya oleh tindakan orang lain baik yang berupa verbal, fisik maupun mental dan orang tersebut takut bila perilaku tersebut akan terjadi lagi. Berdasarkan pengaduan masyarakat, Komisi Nasional Perlindungan Anak memberi definisi atau pengertian terhadap bullying adalah: kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi dimana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma / depresi dan tidak ber- daya. Tindakan kekerasan yang dilakukan senior terhadap junior di sekolah bukan- lah hal yang baru dalam dunia anak-anak usia sekolah. Kasus kekerasan ini telah lama terjadi di Indonesia, namun luput dari perhatian. Disejumlah negara maju pusat krisis untuk kasus semacam ini telah didirikan. Keprihatinan yang semakin mendalam terhadap suasana mencekam akibat semakin parahnya kekerasan yang terjadi di sekolah-sekolah, serta sudah teramat banyaknya kejadian mengiris hati yang mengundang reaksi negatif. Maka untuk peningkatan kesadaran masyarakat akan dampak negatif dari peristiwa-peristiwa tersebut, Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA) sebuah lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, memusatkan perhatiannya pada upaya-upaya membangkitkan nilai-nilai keluhuran agar tercermin dalam perilaku sehari-hari. Nilai-nilai tersebut meliputi aspek-aspek moral, spiritual, harga diri, integritas, keteladanan, kepekaan sosial, dan profesionalisme. Yayasan ini diketuai oleh Diena Haryana, seorang Managing Director pada Business Dynamic. Sebuah perusahaan yang bergerak pada bidang pendidikan dan konsultan training. Diena dan yayasan yang dipimpinnya, berusaha sekuat tenaga untuk mengkampanyekan aksi anti bullying lewat berbagai program acara yang telah digelarnya di berbagai sekolah di Indonesia. Banyak pihak menganggap bullying sebagai bagian wajar dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku bullying seringkali dianggap perlu untuk menegakkan di siplin ataupun untuk memperkuat mental siswa misalnya makian dan penggencetan saat Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) di sekolah. Perilaku bullying pun seringkali tanpa sadar menjadi bagian dari interaksi sosial, seperti ketika ejekan yang ditujukan untuk bercanda berkembang menjadi masalah serius. Bullying dapat berdampak buruk, di antaranya menimbulkan kecemasan, perasaan tidak aman, terisolasi, perasaan harga diri yang rendah, kurangnya kemampuan untuk bersosialisasi, membuat siswa stress, mogok sekolah, kehilangan kepercayaan diri atau bahkan bunuh diri. Yang paling membahayakan, banyaknya aksi bullying dapat menyuburkan budaya kekerasan pada siswa sehingga mereka nekat bergabung dalam geng yang sering melakukan aksi kekerasan. Masalah bullying ini bagaikan lingkaran, tidak berujung. Adanya perasaan dendam karena dulu pernah ditindas oleh senior menyebabkan korban bullying ingin menindas orang lain. Anak yang mengalami bullying di rumah dan tidak mampu membela dirinya, bisa jadi melampiaskan kemarahannya pada teman-teman di sekolah atau sebaliknya. Mereka cenderung menyelesaikan masalah dengan cara kekerasan. ”Dari media saja, antara tahun 2002 dan 2005 didapatkan fakta sekitar 30 kasus bunuh diri di kalangan anak dan remaja usia 6 sampai 15 tahun di Indonesia. Anak-anak itu terdorong berbuat nekat karena ejekan, cemoohan dan olok-olok teman yang mungkin terkesan sepele, tetapi dapat menjadi senjata tak kenal ampun yang secara perlahan tetapi pasti dapat menghancurkan seorang anak,” urai Diena. Diena mencontohkan, ada seorang anak SMA yang bapaknya berprofesi sebagai tukang bubur ayam. Selama beberapa tahun, si anak dikata-katai oleh teman-temannya sebagai anak yang tidak berharga. Akhirnya ia memutuskan bunuh diri. Perilaku bullying terbagi menjadi 3 bentuk, secara fisik bisa dalam bentuk memukul, menampar, memalak atau meminta paksa yang bukan miliknya, hingga pengeroyokan. Kemudian verbal seperti memaki, mengejek, menggosip, membodohkan dan mengkerdilkan. Dan yang terakhir, dengan cara psikologis, seperti: mengintimidasi, mengecilkan, mengabaikan. Aksi bullying dapat berdampak menurunkan tingkat kecerdasan dan kemampuan analisis siswa yang menjadi korban, bahkan sampai berusaha bunuh diri. Bullying juga berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai-nilai akademik dan tindakan bunuh diri. Pelaku bullying berpotensi tumbuh sebagai pelaku kriminal dibanding yang tidak melakukan bullying. Ini kadang tidak disadari oleh para pendidik dan orang tua murid. Faktor penyebab aksi bullying ini adalah akibat: Perilaku feodal (pemaknaan senior/yunior), pubertas pada masa remaja (pencarian jati diri), krisis identitas, kekerasan dalam rumah tangga dan di sekolah. Pengawasan perilaku yang kurang dari orang tua dan guru, imitasi dari tontonan media yang mengandung unsur kekerasan, seksualitas/pornografi, hingga fanatisme yang berlebihan. Sudah banyak penelitian di berbagai negara maju yang menunjukkan dampak-dampak perilaku bullying yang cukup memprihatinkan. Sementara itu, di Indonesia sendiri kesadaran tentang adanya perilaku bullying masih terbatas pada pemerhati pendidikan saja. Salah satu bukti tentang hal ini adalah kenyataan bahwa di Indonesia hingga saat ini belum memiliki terminologi bullying yang tepat dalam bahasa Indonesia. Walaupun ada kata “gencet-gencetan”, tapi belum cukup mewakili beragamnya perilaku bullying yang ada. “Ketika SEJIWA memperkenalkan topik bullying dalam salah satu sesi program pelatihan “Guru Penyemai Potensi”, kecuali di satu sekolah, tak ada seorang pun guru yang memahami apa itu perilaku bullying. Padahal permasalahan bullying ini banyak muncul di sekolah,” papar Diena lagi. Diena menganjurkan kepada pihak sekolah agar membentuk budaya sekolah yang punya atmosfer “Belajar Tanpa Rasa Takut ” melalui pendidikan karakter. Diena juga mengajak menciptakan kebijakan pencegahan bullying di sekolah masing-masing agar aksi bullying dapat kita hindari. Menurut psikolog Octa Reni Setiawati, setidaknya ada tiga alasan kenapa sekelompok siswa melakukan bullying hingga membentuk geng kekerasan. Pertama, anak-anak siswa sekarang ini mengalami tekanan hidup yang lebih keras dari generasi sebelumnya ketika menghadapi kompetisi di sekolah maupun tugas pelajaran dan ujian yang terlalu memeras pikiran. Hal ini memang tidak bisa dijadikan alasan bagi siswa-siswa itu mencari pelarian tercela dengan membentuk geng yang diwarnai kekerasan. Kedua, para siswa yang sarat fantasi di era cyber ini terpersonifikasi memiliki eksistensi baru dalam perilaku tertentu yang menemukan identitasnya pada corak tindak kekerasan. Mereka lalu terbentuk melalui asa yang terasah lewat hobi yang cenderung asosial. Berbagai bentuk games yang ada di rumah dan dalam pergaulan di peer group (teman sebaya) atau melalui Play Station, atau download dari portal website telah menyandera diri mereka menjadi pribadi-pribadi asing yang anomali. Ketika asosial itu terinternalisasi dan membentuk pribadi yang cenderung eksklusif, yang tampak kemudian adalah sikap anti persahabatan dengan sesama. Cuek dan miskin empati terhadap orang lain. Kendati tidak secara langsung berkait, sangat mungkin kelompok semisal geng Nero dan lainnya bersumber dari pemahaman konsep diri serta lingkungan yang asosial tersebut. Tak hanya itu, deretan aksi kekerasan tersebut dapat ditonton langsung lewat tayangan televisi yang membuat bulu kuduk kita bergidik. Sekolah hendaknya memberikan bimbingan rutin sekaligus pengawasan terus-menerus terhadap segala aktivitas yang dilakukan geng sekolahnya. Selain sekolah, orangtua juga tetap bertanggung jawab agar selalu memotivasi anak-anak nya untuk membentuk atau bergabung dengan kelompok yang mencerminkan perilaku positif. Maka para orangtua senyatanya proaktif sebagai partner dan mengarahkan anak-anak mereka dalam aneka pergaulan sosial. Dalam terminologi pendidikan Islam, ada satu cara yang perlu dilakukan orangtua untuk mendidik anak agar mereka menjadi anak yang saleh. Caranya dengan memberi hukuman atau sanksi bila anak tidak juga melakukan sesuatu yang mesti dilakukan, sementara perintah yang lemah lembut sudah dilakukan, tetapi tidak membuat sang anak mau berubah ke arah yang lebih baik. Isyarat memberi sanksi atau menghukum anak, misalnya terdapat dalam lanjutan hadits tentang perintah shalat kepada anak, Rasulullah saw bersabda: “Suruhlah anak-anakmu shalat bila berumur tujuh tahun, dan gunakan pukulan jika mereka sudah berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka” (HR Abu Dawud). Hal ini berarti dalam mendidik itu harus ada disiplin dan ketegasan sehingga anak menjadi tahu dan sadar mana yang harus dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan. Kata pukul di atas bisa kita maksudkan sebagai sanksi. Dan orangtua serta gurulah yang paling tahu, sanksi apa yang paling tepat untuk diberlakukan kepada anak-anaknya. Dan kata pukul di atas tentu tidak mesti kita pahami sebagai pukul secara fisik, bisa saja berarti pukul dalam bentuk sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan umur anak. Jadi nilai-nilai anti bullying sangat selaras dengan nilai-nilai Islam itu sendiri yang mengajarkan kasih sayang. Sementara bagaimana memberikan sanksi itu sendiri, hanya masalah perbedaan cara atau metode yang diberikan. Lebih dari itu, semakin dewasa umur anak, maka Islam menganjurkan para orang tua atau para pendidik mengembangkan suasana yang dialogis dalam memberikan pengajaran kepada anak-anaknya. Hal ini sebagaimana Nabi Ibrahim as, telah mencontohkan bagaimana beliau berdialog dengan anaknya, Ismail dalam menyampaikan perintah Allah guna menyembelih Ismail as. Mendidik anak dengan dialog insya Allah akan membuat si anak mau melakukan sesuatu yang baik dengan penuh kesadaran. Tidak semata-mata karena ada orangtuanya. Hal ini sangat penting, karena tidak mungkin orangtua terus menerus bersama anaknya selama 24 jam setiap harinya. Gambaran suasana yang dialogis antara Nabi Ibrahim dengan Ismail terdapat dalam surat As Shaaffat ayat 102. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup/baligh) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, apa pendapatmu.” Ia (Ismail) menjawab, “Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Suasana dialogis seperti ini, nampaknya akan lebih efektif, jika dilakukan untuk mendidik anak-anak remaja jaman sekarang yang semakin cerdas dan kritis. Rahmat Ubaidillah, Tarbawi Edisi 200 Th.10, Rabiul Akhir 1430, 2 April 2009

Senin, 04 Juli 2011

Ambarawa Yogya Bali Tour Study 27 Juni - 3 Juli 2011

Sebelum menyeberang ke Pulau Bali, para peserta bermalam di Ambarawa meski hanya semalam. Hotel asri di atas puncak dengan hawa sejuk dengan pemandangan indah terhampar di sekelilingnya membuat peserta tidak tahan untuk tidak menduplikasinya dalam gambar foto.

Seusai melakukan kunjungan di Kebun Salak Kaliurang, peserta Studi Wisata mengunjungi objek wisata Taman Sari. Meski di bawah teriknya panas, para peserta dengan serius memperhatikan penjelasan guide lokal di Taman Sari, Yogyakarta.

Setelah mengamati proses pembuatan kerajinan di Desa Krebet, para peserta diperkenankan untuk mencobanya pula. Salah satunya mewarnai topeng dengan canting. Seusai kunjungan di Desa Krebet ini para peserta memuaskan diri berbelanja di kawasan Malioboro, Yogyakarta.

Peserta mampir di sebuah restoran untuk makan siang. Guru pendamping berfoto bersama di belakang restoran dengan latar laut sebelum menyeberang ke Gilimanuk, Bali. Di baris belakang ada Murniati, S.Pd., Sri Salamah, S.Pd., Dra. Yulinus, Bimo Rahardjo, S.Pd., dan Drs. Kusmadi. Duduk di barisan depan ada Budiyono, S.Pd., Tuliyah Ningsih, S.Pd., dan Suhesti Maryanah, S.Pd.

Usai makan siang para peserta menyempatkan diri bergaya di depan keindahan Gunung dan Danau Batur di Kintamani. Termasuk tiga guru ini: Dra. Yusno Firta, Budiyono, S.Pd., dan Tuliyah Ningsih, S.Pd.

Terburu-buru meninggalkan Jogger demi mengunjungi Pantai Kuta. Meski hanya sesaat di Pantai Kuta, para peserta menyempatkan diri berfoto menghadap mentari yang mulai membenamkan diri. Sunset Beach! Sayangnya kondisi jalan yang sangat macet membuat rombongan tertinggal pertunjukkan Tari Kecak di Garuda Wisnu Kencana. Untungnya kekecewaan peserta terobati dengan makan malam ditemani debur ombak di kawasan Jimbaran.

Usai check out dari Hotel Nirmala, Denpasar rombongan melakukan studi di sebuah hutan bakau. Hutan Bakau yang berada di dekat Bandara Ngurah Rai ini pernah menjadi yang terbaik di Asia Tenggara. Disela tugas mendampingi para siswa yang sedang mendengarkan arahan guide lokal, para pembimbing menyempatkan diri berpose di atas jembatan yang mengantarkan pengunjung untuk mengelilingi kawasan hutan bakau yang rindang.


Beragam permainan ditawarkan di Tanjung Benoa. Beberapa peserta Studi Wisata dan guru pendamping mencoba berbagai permainan tersebut. Yang tidak pernah terlupakan: mengabadikan diri di atas hamparan pasir pantai.

Objek wisata pamungkas di Bali adalah Tanah Lot. Sedang dilangsungkan upacara keagamaan saat rombongan SMA Neheri 72 datang. Dari kejauhan para guru pembimbing menyempatkan diri untuk bergaya dengan latar Pantai Tanah Lot nan eksotis.

Ternyata seluas-luasnya bumi Indonesia, ke mana pun dan di manapun bisa dipastikan akan bertemu dengan orang yang pernah kita kenal. Saat kunjungan di Tanah Lot inilah para guru pendamping bertemu dengan seorang alumnus SMA Negeri 72 Jakarta, Abharina, dengan suaminya. Pertemuan tersebut pun diabadikan saat itu juga di depan penjual souvenir. Selanjutnya rombongan meninggalkan Pulau Dewata menuju Jakarta. Sebelumnya rombongan singgah di Masjid Agung, Semarang dan Pusat oleh-oleh Padanarang.

Jumat, 24 Juni 2011

Guru Kami

Guru-guru kami dengan seragam PGRI di Hari Ulang Tahun PGRI yang penuh keceriaan dalam kebersamaan.

Guru-guru kami dalam seragam kebesaran mereka di hari Senin menjelang upacara pengibaran bendera.

Guru-guru kami dalam balutan kebaya nan anggun serta busana muslim yang serasi di setiap Jumat.

Guru-guru kami yang senantiasa bersama-sama dengan siswa dalam melaksanakan beragam kegiatan sekolah, termasuk pada Hari Raya Qurban.

Guru-guru kami saat berdarmawisata ke Pantai Slopeng di Pulau Madura menjelang pelepasan Kepala Sekolah, Ibu Tumiar Sihotang.

Kunci Syukur dan Sabar

“Ada dua perkara, siapa memiliki keduanya maka Allah mencatat dia sebagai orang yang bersyukur dan penyabar; dan siapa yang tidak memiliki keduanya maka Allah tidak mencatatnya sebagai orang yang bersyukur dan penyabar. Pertama, orang yang dalam urusan agamanya melihat kepada orang yang lebih tinggi darinya, lalu ia mengikutinya; sedang dalam urusan dunianya ia melihat kepada yang lebih rendah, lalu memuji Allah atas kerunia yang diterimanya, maka Allah mencatatnya sebagai hamba yang bersyukur dan penyabar. Kedua, orang yang dalam urusan agamanya melihat kepada yang lebih rendah, sedang dalam urusan dunianya ia melihat kepada yang lebih tinggi, lalu menyesali apa yang tidak dapat ia capai, maka Allah tidak mencatatnya sebagai hamba yang bersyukur dan penyabar.” (HR. Tirmidzi)